Saat
aku beranjak dewasa, aku mulai mengenal sedikit kehidupan yang
menyenangkan, merasakan kebahagiaan memiliki wajah yang tampan,
kebahagiaan memiliki banyak pengagum di sekolah, kebahagiaan karena
kepintaranku yang dibanggakan banyak guru. Itulah aku, tapi satu yang
harus aku tutupi, aku malu mempunyai seorang ibu yang BUTA !!! Matanya
tidak ada satu. Aku sangat malu, benar-benar malu !
Aku
sangat menginginkan kesempurnaan terletak padaku, tak ada satupun yang
cacat dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat itu ayah yang menjadi
tulang punggung kami sudah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha
Kuasa. Tinggallah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi tulang
punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak kuhiraukan. Aku hanya
mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedang ibu bekerja membuat
makanan untuk para karyawan di sebuah rumah jahit sederhana.
Pada
suatu saat ibu datang ke sekolah untuk menjenguk keadaanku. Karena
sudah beberapa hari aku tak pulang ke rumah dan tidak tidur di rumah.
Karena rumah kumuh itu membuatku muak, membuatku kesempurnaan yang
kumiliki manjadi cacat. Akan kuperoleh apapun untuk menggapai sebuah
kesempurnaan itu.
Tepat
di saat istirahat, Kulihat sosok wanita tua di pintu sekolah. Bajunya
pun bersahaja rapih dan sopan. Itulah ibu ku yang mempunyai mata satu.
Dan yang selalu membuat aku malu dan yang lebih memalukan lagi Ibu
memanggilku. "Mau ngapain ibu ke sini? Ibu datang hanya untuk
mempermalukan aku!" Bentakkan dariku membuat diri ibuku segera bergegas
pergi. Dan itulah memang yang kuharapkan. Ibu pun bergegas keluar dari
sekolahku. Karena kehadiranya itu aku benar-benar malu, sangat malu.
Sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan. "Hai, itu ibumu ya???,
Ibumu matanya satu ya?" yang menjadikanku bagai disambar petir mendapat
pertanyaan seperti itu.
Beberapa
bulan kemudian aku lulus sekolah dan mendapat beasiswa di sebuah
sekolah di luar negeri. Aku mendapatkan beasiswa yang ku incar dan
kukejar agar aku bisa segera meninggalkan rumah kumuhku dan terutama
meninggalkan ibuku yang membuatku malu. Ternyata aku berhasil
mendapatkannya. Dengan bangga kubusungkan dada dan aku berangkat pergi
tanpa memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu. Aku hidup untuk
diriku sendiri. Persetan dengan Ibuku. Seorang yang selalu mnghalangi
kemajuanku.
Di
Selolah itu, aku menjadi mahasiswa terpopuler karena kepintaran dan
ketampananku. Aku telah sukses dan kemudian aku menikah dengan seorang
gadis Indonesia dan menetap di Singapura.
Singkat
cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat tinggalku
sangat mewah, aku mempunyai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun
dan aku sangat menyayanginya. Bahkan aku rela mempertaruhkan nyawaku
untuk putraku itu.
10
tahun aku menetap di Singapura, belajar dan membina rumah tangga dengan
harmonis dan sama sekali aku tak pernah memikirkan nasib ibuku. Sedikit
pun aku tak rindu padanya, aku tak mencemaskannya. Aku BAHAGIA dengan
kehidupan ku sekarang.
Tapi
pada suatu hari kehidupanku yang sempurna tersebut terusik, saat
putraku sedang asyik bermain di depan pintu. Tiba-tiba datang seorang
wanita tua renta dan sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia
adalah Ibuku, Ibuku datang ke Singapura. Entah untuk apa dan dari mana
dia memperoleh ongkosnya. Dia datang menemuiku.
Seketika
saja Ibuku ku usir. Dengan enteng aku mengatakan: "HEY, PERGILAH KAU
PENGEMIS. KAU MEMBUAT ANAKKU TAKUT!" Dan tanpa membalas perkataan
kasarku, Ibu lalu tersenyum, "MAAF, SAYA SALAH ALAMAT"
Tanpa
merasa besalah, aku masuk ke dalam rumah. Beberapa bulan kemudian
datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA ku. Aku pun
datang untuk menghadirinya dan beralasan pada istriku bahwa aku akan
dinas ke luar negeri.
Singkat
cerita, tibalah aku di kota kelahiranku. Tak lama hanya ingin
menghadiri pesta reuni dan sedikit menyombongkan diri yang sudah sukses
ini. Berhasil aku membuat seluruh teman-temanku kagum pada diriku yang
sekarang ini.
Selesai
Reuni entah megapa aku ingin melihat keadaan rumahku sebelum pulang ke
Sigapore. Tak tau perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat
rumah kumuh dan wanita tua itu. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada
perasaan sedih atau bersalah padaku, bahkan aku sendiri sebenarnya jijik
melihatnya. Dengan rasa tidak berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa
mengetuk pintu terlebih dahulu. Ku lihat rumah ini begitu berantakan.
Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalam rumah itu, entahlah dia ke
mana, tapi justru aku merasa lega tak bertemu dengannya. Bergegas aku
keluar dan bertemu dengan salah satu tetangga rumahku. "Akhirnya kau datang juga. Ibu mu telah meninggal dunia seminggu yang lalu".
"OH…"
Hanya perkataan itu yang bisa keluar dari mulutku. Sedikit pun tak ada
rasa sedih di hatiku yang kurasakan saat mendengar ibuku telah
meninggal. "Ini, sebelum meninggal, Ibumu memberikan surat ini untukmu". Setelah menyerahkan surat ia segera bergegas pergi. Ku buka lembar surat yang sudah kucal itu.
Untuk anakku yang sangat Aku cintai,
Anakku
yang kucintai aku tahu kau sangat membenciku. Tapi Ibu senang sekali
waktu mendengar kabar bahwa akan ada reuni disekolahmu.
Aku berharap agar aku bisa melihatmu sekali lagi. karena aku yakin kau akan datang ke acara Reuni tersebut.
Sejujurnya
ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga setiap malam Aku hanya
bisa menangis sambil memandangi fotomu satu-satunya yang ibu punya.Ibu
tak pernah lupa untuk mendoakan kebahagiaanmu, agar kau bisa sukses dan
melihat dunia luas.
Asal
kau tau saja anakku tersayang, sejujurnya mata yang kau pakai untuk
melihat dunia luas itu salah satunya adalah mataku yang selalu membuatmu
malu.
Mataku
yang kuberikan padamu waktu kau kecil. Waktu itu kau dan Ayah mu
mengalami kecelakaan yang hebat, tetapi Ayahmu meninggal, sedangkan mata
kananmu mengalami kebutaan.
Aku tak tega anak tersayangku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka aku berikan satu mataku ini untukmu.
Sekarang aku bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan cita-citakan.
Dan akupun sangat bahagia bisa melihat dunia luas dengan mataku yang aku berikan untukmu.
Saat
aku menulis surat ini, aku masih berharap bisa melihatmu untuk yang
terakhir kalinya, Tapi aku rasa itu tidak mungkin, karena aku yakin maut
sudah di depan mataku.
Peluk cium dari Ibumu tercinta
Bak petir di siang bolong yang menghantam seluruh saraf-sarafku, Aku terdiam!
Baru kusadari bahwa yang membuatku malu sebenarnya bukan ibuku, tetapi diriku sendiri....
No comments:
Post a Comment